Makalah Hukum Mawaris - Kewarisan Saudara (Dzawil Arham) - Blog Pribadi

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Senin, 10 Desember 2018

Makalah Hukum Mawaris - Kewarisan Saudara (Dzawil Arham)



Kelompok 6

KEWARISAN SAUDARA (Dzawil Arham)

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Mawaris

Dosen Pembimbing :
ABDUL QODIR ZAELANI, S.H.I., M.A

Disusun Oleh:

Nama  : Murniati

NPM  : 1621030095

Kelas  : Muamalah B



PRODI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ( UIN ) LAMPUNG
2018



KATA PENGANTAR

            Puji syukur kita panjatkan kehadirat  Allah SWT yang telah mengizinkan kita semua berada dalam kasih sayangNya. Tak lupa mari kita haturkan pujian untuk Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita kemasa dimana kita bisa belajar dan tumbuh kembang dengan baik dengan sikap-sikap teladannya.

            Dalam makalah ini, kami membahas tentangKewarisan Saudara”. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman tentang Mawaris dalam suatu harapan mendapatkan ilmu yang baik dalam memanfaatkan pengetahuan dalam bidang Fiqh Mawaris.

Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terimakasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan :
1.      Abdul Qodir Zaelani, S.H.I., M.A., selaku dosen mata kuliah Fiqh Mawaris.
2.      Teman - teman mahasiswa yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari teman – teman sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 22 Oktober 2018
Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ..  2
DAFTAR ISI .............................................................................................................  3
BAB 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................................................................................  4
Rumusan Masalah ......................................................................................................  5
Tujuan ........................................................................................................................  5

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kewarisan Saudara (Dzawil Arham) ..................................  6
B.     Para Dzawil Arham .................................................................................  7
C.     Pembagian Harta Waris ..........................................................................  7
D.    Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham ..............................  8
E.     Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham ...........................................  10
F.      Syarat-Syarat Pembagian Hak Waris Bagi Dzawil Arham .......................  13
G.    Kisah Salaf Terdahulu ..............................................................................  13

BAB III PENUTUP
Kesimpulan ...............................................................................................................  15
Daftar Pustaka ..........................................................................................................  16



BAB I

PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang
Waris berasal dari bahasa Arab warisa-yarisu-warsan atau irsan/turâs, yang berarti mempusakai ketentuan-ketentuan harta pustaka yang meliputi ketentuan siapa yang berhak dan tidak berhak menerima warisan dan berapa jumlah masing-masing harta yang diterima. Banyak para ahli hukum mendefinisikan hukum kewarisan yang berbeda beda. Menurut Soepomo hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang berwujud benda dari suatu angkatan manusia pada keturunannya. Hilman Hadi Kusuma menyatakan bahwa warisan menunjuk harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.
Berdasarkan definisi tersebut tampak bahwa hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli waris dan harta peninggalan pewaris yang perlu diatur agar terdapat kepastian hukum dalam kewarisan dengan tujuan agar ahli waris mendapatkan harta warisan sesuai dengan haknya.[1]
Hukum kewarisan Islam merupakan bagian dari konstruksi ajaran agama Islam yang secara letter lijk termuat dalam teks-teks ayat suci Alquran. Alquran telah mengatur mengenai cara pembagian harta waris, ahli waris dan syarat-syarat sebagai ahli waris, wasiat dan hal-hal yang secara rinci membahas mengenai waris. Idealnya ketentuan yang telah ditentukan oleh Alquran tersebut harus dilaksanakan.  Akan tetapi karena berbagai faktor yang melingkupi, ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, sehingga timbul pemahaman terhadap keberadaan hukum waris Islam seakan hanya sebatas rentetan aturan tanpa adanya praktik. Padahal jika dikaji secara mendalam, hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam.[2]
Seiring berkembangnya zaman, masalah pewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqaha’. Dalam pewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak yang mendapat harta warisan, ada yang disebut dengan ashhabul furudh, ashabah, dan dzawil arham. Diantara tiga golongan tersebut yang menarik perhatian adalah dzawil arham yang banyak perselisihaan mengenai pembagian hak warisnya. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pewarisan dzawil arham.


2.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok utama dalam pembahasan makalah ini adalah membahas tentang Kewarisan Saudara. Pembahasan tersebut dapat dibentuk dalam sebuah rumusan masalah sederhana agar mempermudah dalam memahami. Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan Kewarisan Saudara (Dzawil Arham) ?
2.      Bagaimana Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham ?
3.      Bagaimana Cara Pembagian Waris Dzawil Arham ?
4.      Apa saja Syarat-Syarat Hak Waris Bagi Dzawil Ahkam?

3.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian Kewarisan Saudara (Dzawil Arham).
2.      Mengetahui Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham.
3.      Mengetahui Cara Pembagian Waris Dzawil Arham.
4.      Mengetahui Syarat-Syarat Hak Waris Bagi Dzawil Ahkam.



BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Kewarisan Saudara (Dzawil Arham)

Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti “tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu.” Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:



"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."  (Qs. An-Nisa ayat 1)


"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Qs. Muhammad ayat 22)


Rasulullah saw. bersabda:
"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya, maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara 'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.[3]


B.     Para Dzawil Arham
1.      Saudara ibu laki-laki dan perempuan (paman/bibi);
2.      Saudara ayah yang perempuan (bibi);
3.      Anak perempuan saudara ayah yang laki-laki (putrinya paman/ sepupu);
4.      Anak laki-laki dan anak perempuannya saudara perempuan (Ponakan);
5.      Cucu laki-laki dari anak perempuan;
6.      dan semua kerabat yang tidak mendapat harta waris.[4]

C.    Pembagian Harta Waris
1.      Saudara Kandung dan Seayah,
a.      Setengah (1/2) jika sendirian,
b.     Dua pertiga (2/3) jika berdua atau lebih,
c.      Asabah bi l-ghair jika ada saudara laki-laki seayah,
d.      Asabah ma’a l-gair jika ada anak atau cucu perempuan,
e.   Seperenam (1/6) sebagai pelengkap dua pertiga. Dasar ini diqiaskan dengan bagian cucu perempuan yang mewarisi bersama seorang anak perempuan.

2.      Saudara Seibu
a.       Seperenam (1/6) jika sendirian.
b.      Sepertiga (1/3) jika berdua atau lebih.


D.    Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham

Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw..
Dalam hal ini ada dua pendapat:

Golongan pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat
dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.

Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1.   Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi, bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.

2.      Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."
Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada kerabat yang lain.

3.  Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya. Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya ketimbang para kerabat.

Golongan Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal.
Adapun dalil yang dijadikan landasan golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya
hubungan darah.[5]


E.     Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham
Di antara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat sebagai berikut:
1.      Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.

2.      Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki

Silahkan dipahami contoh-contoh sebagai berikut:
1.  Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, dan saudara laki-laki-laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan disini sebagai ‘ashabah.

2.      Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Kasus ini diibaratkan pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut: Keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung mendapatkan 1/2 bagian, Keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat 1/6 sebagai penyempurna 2/3, Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan 1/6 bagian sebagai ashabah.
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris yang tergolong ashhabul furudh dan ashabah.

3.      Menurut Ahlul Qarabah
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham, mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.

Perbedaan antara Madzhab Ahli Tanzil dan Ahli Qarabah
Antara ahli tanzil dan ahli qarabah memang seperti ada kesamaan, namun di sini ternyata ada sesuatu yang membedakan antara keduanya yaitu:
a. Madzhab ahli tanzil tidak memberi urutan kepada masing-masing kelompok dan tidak mendahulukan sebagian kelompok daripada yang lain. Lain lagi ahli qarabah, mereka mengutamakan salah satu kelompok daripada kelompok yang lain karena dikiaskan dengan ashabah.
b.    Yang perlu diutamakan menurut ahli tanzil adalah dekatnya hubungan kerabat dengan pewaris yang mempunyai bagian tetap atau ashabah. Tetapi menurut madzhab ahli qarabah yang perlu diutamakan adalah tingkat kekerabatan lalu kuatnya kekerabatan  dan bagi seorang laki-laki mendapat dua kali bagian seorang perempuan.[6]

F.     Syarat-Syarat Pembagian Hak Waris Bagi Dzawil Arham
1.  Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
2.    Tidak ada penta’shib (‘ashabah). Sebab ‘ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para ‘ashabah akan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul fardh.

Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham.


G.    Kisah Salaf Terdahulu
Ketika Tsabit bin Addahdah meninggal, Nabi bertanya kepada Qais bin Ashim: “Apakah kamu tahu hubungan kekerabatannya denganmu?” Qais menjawab: “Dia di sini bersama kami adalah sebagai perantau, dan kami tidak tahu dia punya kerabat siapa-siapa, hanya kami tahu bahwa dia mempunyai seorang kerabat laki-laki, anak saudara perempuannya bernama Abu Lubanah bin Abdul Mundzir.” Nabi lalu memberikan harta warisan Tsabit bin Addahdah kepada keponakannya (anak laki-laki saudara perempuannya).
Kita ketahui bahwa anak laki-laki saudara perempuan tiada lain adalah dzawil arham, sebab ia tidak mempunyai bagian tetap dan tidak mendapat ashobah. Namun ia bisa memperoleh harta warisan. Ini menunjukkan bahwa dzawil arham dapat memperoleh harta warisan bila memang tidak ada seorang pun yang mempunyai bagian tetap dan yang mendapat ashobah. seperti halnya mereka mengambil dalil bahwa seorang lelaki bernama (Sahal bin Hunaif) memanah seseorang hingga tewas. Orang yang tewas itu tidak punya ahli waris seorang pun kecuali paman dari ibu (saudara laki-laki ibu). Lalu Abu Ubaidah bin Jarrah mengirim surat kepada Umar bin Khattab menanyakan masalah tersebut. Umar menjawab, bahwa nabi pernah bersabda: “Saudara ibu adalah salah satu pewaris bagi orang yang tidak mempunyai waris sama sekali.”
Dari kisah di atas dan sabda Nabi menunjukkan atas kewarisannya dzawil arham. Sebab paman (dari ibu), bukan orang yang mempunyai bagian tertentu dan bukan ashobah dengan kesepakattan para ulama. Nabi juga tidak memberi tahu bahwa khal (paman dari ibu) adalah ahli waris seseorang yang tidak punya ahli waris sama sekali.[7]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan makalah tersebut, dalam disimpulkan bahwa Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti “tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu.” Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.
Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, terdiri dari dua golongan, yaitu : Golongan pertama, golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Sedangkan, Golongan Kedua, golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris.
Begitupun tentang cara pembagian waris untuk dzawil arham terdapat perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat sebagai berikut: Menurut Ahlur-Rahmi, mengatakan mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan. Menurut Ahlut-Tanzil, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Dan Menurut Ahlul Qarabah, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti yang paling berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.


Daftar Pustaka
Muhammad Ali ash-Shabuni. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah A.M.Basamalah. Jakarta: Gema Insani Press.

Anshary. 2013. Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. 2012. Minhajul Muslim Pedoman Hidup Seorang Muslim, cet-5. Surakarta: Insan Kamil.

Supriyadi.2015. Pilihan Hukum Kewarisan Dalam Masyarakat Pluralistik (Study Komporasi Hukum Islam dan Hukum Perdata. Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XII  No. 3. 553.

Sakirman. 2016. Konvergensi Pembagian Harta Waris Dalam Hukum Islam. Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XIII  No. 2. 155. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/1853/1513 diakses pada tanggal 18 Oktober 2018.



[1] Supriyadi, “Pilihan Hukum Kewarisan Dalam Masyarakat Pluralistik (Study Komporasi Hukum Islam dan Hukum Perdata”. Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XII No. 3, Juni 2015, 553. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/235/380
[2] Sakirman, “Konvergensi Pembagian Harta Waris Dalam Hukum Islam”. Jurnal Al-‘Adalah. Vol. XIII No. 2, Desember 2016, 155. http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/1853/1513
[3] Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam penerjemah A.M.Basamalah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995). Hal. 144-145.
[4] Anshary, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2013). Hal. 114
[5] Muhammad Ali ash-Shabuni, Op. Cit. Hal. 145-148.
[6] Muhammad Ali ash-Shabuni, Op. Cit. Hal. 151-156.
[7] Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Seorang Muslim, cet-5, (Surakarta: Insan Kamil, 2012 ), hal. 828

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here